JawiJangkep, Pakaian Adat Deskripsi Pakaian Adat Jawa Dalam Bahasa Jawa Read More » Lewati ke konten. Pertanyaan yang sering diajukan; Main Menu. Pertanyaan yang sering diajukan; Deskripsi Pakaian Adat Jawa Dalam Bahasa Jawa. Pertanyaan yang sering diajukan / Oleh Rina Laksmiwati / Juni 12, 2022 1 Blangkon Sala, saka bahan bathik ora nganggo mondholan (trèpès). 2. Blangkon Yogya, nganggo mondholan. 3. Blangkon Kedhu. 4. Blangkon Banyumas. 5. Blangkon Sundha, saka bahan bathik, ora nganggo mondholan. Mondholan, iku wangun sing njendhol ing samburiné blangkon, makili modhèl rambut priya sing kerep dibundhel ing mburi. Blangkonadalah tutup kepala yang terbuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Setiap daerah mempunyai jenis blangkon yang berbeda. Blangkon Jogja dan Blangkon Surakarta/Solo mempunyai perbedaan pada bagian belakangnya, Jawijangkep merupakan pakaian adat Jawa Tengah yang dipakai oleh kaum laki-laki. Jawi ini berasal dari adat Keraton Kasunanan Surakarta. Baju adat Jawa ini sendiri memiliki 2 jenis, yaitu Jawi Jangkep dan Jawi Jangkep Padintenan (keseharian). Jawi Jangkep mengkhususkan penggunaan atasan hitam dan hanya boleh digunakan untuk acara formal. Vay Tiền Trả Góp 24 Tháng. Blangkon Surakarta Surakarta yang biasa di sapaan ii kabupaten solo ialah kota terbesar ketiga di pulau Jawa bagian selatan sehabis Bandung dan Malang menurut jumlah penduduk. Sisi timur ii kabupaten ini dilewati sungai nan terabadikan dalam pelecok satu lagu keroncong, Bengawan Solo. Bersama dengan Yogyakarta, Surakarta yaitu pewaris Kesultanan Mataram yang dipecah melangkahi Perjanjian Giyanti, puas tahun 1755. Dari Perjanjian Giyanti tersebut, mengakibatkan Kasultanan Mataram dibagi mejadi dua pemerintahan maupun wilayah kekuasaan. Yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Jika berbicara akan halnya Daerah tingkat Surakarta, terbayang jelas karakter dari masyarakat nan subtil dan baik hati. Selain itu situasi yang paling kecil erat kaitanya dengan Daerah tingkat Solo adalah tamadun. Apabila kita telisik lebih mendalam mengenai peradaban Kota Istimewa, ada pelecok satu cirikhas unik nan masih eksis sebatas ketika ini, adalah blangkon. Lembaga mondolan trepes adalah salah satu ciri dari blangkon Surakarta. Blangkon adalah salah suatu bagian dari pakaian adat distingtif Jawa yang digunakan bagi penutup kepala buat pria misal pelindung dari sengatan matahari atau udara dingin. Awalnya blangkon terbuat dari reja iket atau udeng berbentuk persegi empat bujur sangkar, bertakaran kurang lebih 105 cm x 105 cm. Kain yang kemudian dilipat dua menjadi segitiga dan kemudian dililitkan di kepala dengan cara dan aturan tertentu. Mengenakan iket dengan segala apa aturannya ternyata tidak mudah dan memerlukan hari, maka timbullah gagasan seiring dengan kesuksesan pemikiran orang dan seni kerjakan membuat penutup kepala nan kian praktis, nan kemudian dikenal dengan logo blangkon. Sebelum menjadi blangkon, kain dipakai dengan mandu jingkengan. Blangkon merupakan barang jadi dari iket nan diwiru. Lampau dibulatkan dengan cetakan yang namanya klebut. Kaidah menggunakan blangkon harus diukur lingkung penasihat di atas alis dan kurung di kedua telinganya. Blangkon Spesial dikenal tiba Pakubowono III, setelah terjadinya Perjanjian Giyanti. Sebelum itu blangkon Solo seperti punya bagan seperti mana blangkon Jogja. Pasca- perjanjian Giyanti, ada rotasi kebudayaan lautan yang menyebabkan Pakubuwono III membuat beragam blangkon. Jika Jogja hanya memiliki 1 model blangkon, Tersendiri punya 6 arketipe blangkon. Kerelaan blangkon bagaikan hasil budaya Jawa senyatanya tidak sekedar sebagai apendiks berpakaian sahaja namun memiliki makna yang privat. Blangkon memiliki berbagai motif kain batik, seperti motif gurda, kawung, truntum, wahyu tumurun, sido mukti dan sebagainya. Beragamnya motif blangkon sesuai dengan beragamnya motif kejai batik tradisional di Jawa. Setiap motif memiliki makna dan aturan tertentu dalam pemakaianya. Bilang keberagaman perca menggambar sebagai bahan baku bikin membuat blangkon. Bilang motif blangkon Solo antara lain; motif solo muda maupun motif keprabon, motif kasatrian, motif perbawan, motif dines , motif tempen. Motif tempen digunakan untuk abdi dalem yang diutus ke Loji atau ke maktab karisidenan atau kantor Belanda pada zaman dahulu. Model ini memakai sunduk tunggang-tungging berpunca penyu atau tanduk mahesa. Kemudia suka-suka juga motif wulung kemolo, cacaran moncip ompak, dan yang tertinggi adalah motif modang. Motif modang menggambarkan takhta seseorang. Tulangtulangan stilasi lidah jago merah atau blencong mempunyai arti seseorang sudah memiliki arti pikir/nalar. Banyak spesies modang sesuai dengan peruntukannya. Sebagai contoh modang cangkul yang digunakan ketika masuk ke kraton dan modang stoppres yang digunakan kalau di luar kraton. Pemakaian blangkon disesuaikan menurut adatnya, ibarat blangkon bermotif byur dipakai khusus dengan kain panjangnya/perca jaritannya. Motif wahyu temurun mudahmudahan juga mengaryakan kain jarit wahyu temurun. Orang dapat memakai blangkon modang motif ompak jika merasa sesorang tersebut belum punya “ilmu” nan memadai. Tingkatan di bawahnya terserah tipe wulung kemodo hanya pinggirnya saja. Jika seseorang menganggap dirinya enggak mampu maka blangkon nan dikenakan yakni jenis blangkon wulung. Jika berbicara mengenai blangkon, maka umumnya makhluk akan menyebut blangkon gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta. Adapaun perbedaan antara blangkon Yogyakarta dengan blangkon Partikular secara jasmani terletak pada mondolan di belakang blangkon. Dahulu orang Jawa tidak mengenal pangkas bulu baik junjungan-junjungan maupun cewek rambutnya digelung lebih-lebih adv amat baru kemudian ditutup iket bagi janjang rio andap/rio ke bawah. Doang jika rio ke atas memakai iket blangkon dengan cunduk jugkat kadal menek. Ada sekali lagi diversifikasi adu muncung yang biasanya hanya digunakan orang yang dapat memerintah atau mempunyai jabatan. Puas intinya terdapat beberapa putaran yang tentunya n kepunyaan makna yang benar-benar dan rapat persaudaraan hubunganya dengan diri makhluk. Blangkon terdiri berpangkal beberapa bagian, seperti bagian dalam yang disebut congkeng. Lalu di bagian depan disebut wiron yang jumlanya wironya dibuat gangsal. Apabila basyar berwajah elips biasa pakai wiron berjumlah 11, tapi nan berwajah buntak biasanya memakai kili yang jumlahnya 9. Penggalan lainnya adalah waton, tutupan, tampingan, jebeh, kantong mondol, dan tusuk konde jungkat. Di Kota Surakarta terwalak sebuah kampung yang disebut sebagai kampung blangkon, ialah Kampung Potrojayan yang merupakan negeri Kelurahan Serengan, Kecamatan Serengan Daerah tingkat Surakarta. Pembuatan blangkon di kampung ini dipelopori maka dari itu Mbah Joyo seputar hari 70-an nan sebatas waktu ini sudah lalu diteruskan oleh generasi ke-tiga, nan bernama Bapak Wardoyo dan ibu Rusmiyati. Kerelaan pengrajin blangkon di Kampung Potrojayan tidak lepas dari jasa Mbah Joyo. Karena, pengrajin blangkon yang ada sekarang merupakan “petatar” yang pernah bekerja di tempat Mbah Joyo. Proses pembuatan blangkon Pembuatan blangkon melalui berbagai proses, antara lain penyortiran objek motif kain, pengukuran, dan teladan. Bahan kain bakal pembuatan blangkon merupakan perca bermotif menggambar. Setelah ditentukan motif maka pembuatan disesuaikan dengan dimensi sang pemakai. Agar prinsip pemakaiannya praktis maka pembuatannya diatur sedemikian rupa dengan penguat dan pengeras sehingga ketika dilepas tidak terderai. Proses tersebut selesai kurang berpokok 30 menit dan harus dijemur di bawah kilat rawi yang sulit selama 3-4 jam. Proses ragil adalah dijahit agar lebih langgeng. Alat-alat yang digunakan antara lain tang, pencucuk, sepit, congkeng. Sedangkan sasaran yang dibutuhkan berupa jarit, karton, dan lem. Masa ini blangkon mengalami perkembangan dalam peristiwa kreasi corak dan lain hanya digunakan sebagai pakaian adat, melainkan sekali lagi digunakan bak souvenir. Takdirnya sangat digunakan harus sesuai kursi atau pakemnya, saat ini blangkon bisa digunakan oleh siapapun dari lingkaran manapun serta tidak terbujuk dalam acara acara tertentu. Seiring berkembangnya produksi blangkon di Surakarta yang semakin pesat, menerimakan dampak positif kerjakan pengrajin blangkon dari segi perekonomianya. Lega intinya blangkon adalah sebuah representasi diri melalui tampilan depan yang rapi, sopan dan berseni dari sebuah pengendalian diri nan kuat serta pengendalian diri yang pun berbasis atas kombinasi insan dengan Si Pembuat. Video teaser Blangkon Surakarta Penderma Subiyantoro Blangkon adalah penutup atau ikat kepala bagi kaum pria. Umumnya blangkon terbuat dari jalinan kain polos atau bermotif batik yang dilipat, dililit kemudian dijahit hingga berbentuk penutup kepala siap pakai. Penggunaan blangkon ini bertujuan sebagai bagian dalam tradisi busana adat jawa, pelindung kepala dari sengatan matahari, sebagai wujud keindahan bagi pemakainya serta menunjukkan martabat atau kedudukan sosial bagi pemiliknya. Anugrah Cisara dalam jurnal berjudul "Blangkon dan Kaum Pria Jawa" menyebutkan, bahwa masyarakat jawa kuno menganggap kepala seorang lelaki mempunyai arti penting. Maka pelindung kepala lelaki amat diutamakan hingga menggunakan blangkon dalam pakaian keseharian dapat dikatakan wajib. Sebelum blangkon berbentuk topi siap pakai seperti yang sering dijumpai saat ini, dahulu blangkon bernama iket yang berwujud kain motif. Di setiap penggunaannya, iket perlu dililit dan dibentuk sedemikian rupa. Seiring perkembangan zaman, kain bermotif tersebut berinovasi menjadi penutup kepala siap pakai serupa dengan topi yang dinamakan blangkon. Penggunaan kata blangkon diambil dari kata blangko, istilah yang dipakai masyarakat jawa untuk mengatakan sesuatu yang siap pakai. Sejarah Kemunculan Blangkon Tidak ada catatan pasti akan awal mula masyarakat jawa menggunakan iket atau blangkon sebagai penutup kepala. Iket telah tersebut disebut dalam cerita legenda Aji Saka, pencipta tahun Saka atau tahun Jawa dan aksara Jawa. Dikisahkan sekitar 20 abad yang lalu, Aji Saka berhasil mengalahkan Dewata Cengkar hanya dengan menggelar kain penutup kepala yang kemudian dapat menutupi seluruh tanah Jawa. Selain itu, beberapa riwayat mengatakan bahwa blangkon merupakan pengaruh budaya Islam yaitu kain sorban. Para pedagang dari Gujarat selalu mengenakan sorban, kain panjang yang dililitkan di kepala. Sorban kemudian menginspirasi orang Jawa memakai ikat kepala seperti mereka. Pada zaman dulu, blangkon hanya boleh dibuat oleh pengrajin dan seniman keraton sesuai dengan aturan pakem yang berlaku. Blangkon dulunya juga digunakan untuk menunjukan status pemakainya. Status seseorang dapat dilihat dari jumlah lilitan, bentuk, dan motif kain pada blangkon yang dipakai. Unsur keindahan dan filosofis sangat diperhatikan dalam pembuatan blangkon. Dalam budaya masyarakat jawa, rambut merupakan bagian terpenting dari tubuh manusia yang disebut dengan istilah Mustoko atau mahkota. Maka penutup kepala yang melindungi rambut perlu diperlakukan secara istimewa. Keistimewaan ini yang membuat orang jawa tempo dulu menganggap bahwa dalam berpakaian adat jawa akan lebih terlihat pantas dan lebih berwibawa apabila pada bagian kepala menggunakan sebuah penutup kepala yaitu blangkon. Dengan memakai Blangkon membuat kaum pria pada waktu itu merasa lebih berwibawa. Kebanyakan orang Jawa dahulu memanjangkan rambutnya namun tidak membiarkannya tergerai acak-acakan begitu saja. Mereka membiarkan rambutnya terurai hanya saat berada di rumah saja atau dalam situasi konflik seperti perang. Saat di luar rumah, pria jawa zaman dahulu memiliki kebiasaan untuk menggelung rambutnya dengan ikatan kain yang saat ujung ikatan kain tersebut diikat di belakang. Kebiasaan ini memiliki makna filosofis berupa peringatan untuk mampu mengendalikan diri. Membuka ikatan kain di belakang kepala atau membuka tutup kepala yang berakibat tergerainya rambut adalah bentuk terakhir luapan emosi yang tak tertahan. Maka, blangkon dapat disebut sebagai wujud pengendalian diri. Detail Bentuk Blangkon dan Maknanya Keindahan blangkon dapat dilihat dari kain batik selebar 105 x 105 cm sebagai bahan dasarnya. Selain itu, sebuah blangkon yang bagus memiliki 17 wiru lipatan yang rapi di kanan kiri sebagai lambang jumlah rakaat shalat dalam sehari. Di bagian belakang blangkon pasti ada 2 ujung kain yang terikat. Satu ujung kain merupakan simbol dari syahadat Tauhid dan satu ujung lain adalah syahadat Rasul dan terikat menjadi satu bermakna menjadi syahadatain. Mondolan di pasang di belakang kepala dengan makna mencegah manusia dari tidur dan menutup mata. Letak mondolan ini pun diusahakan di tengah dan lurus ke atas, yakni bermakna lurus terhadap sang pencipta. Tidak hanya itu sisa kain di samping mondolan jika dihitung berjumlah 6 yang berarti 6 rukun iman dalam Islam. Tanpa kesabaran dan ketelitian yang besar dari sang seniman, sangat mustahil blangkon tersebut bisa diselesaikan. Secara umum, blangkon dapat dibagi menjadi beberapa jenis gaya yaitu blangkon Jogja dan blangkon Solo. Pada blangkon Jogja terdapat mondolan berbentuk bulat seperti onde-onde di belakang blangkon. Hal ini karena kebiasaan laki-laki Jogja memelihara rambut panjang kemudian diikat ke atas seperti Patih Gajah Mada. Saat menggunakan ikatan kain, rambut tersebut dibungkus dan diikat. Gulungan rambut ini lalu berkembang menjadi mondolan blangkon yang memiliki makna kehati-hatian dan perasaan yang disembunyikan. Tujuannya untuk menjaga perasaan orang lain. Sedangkan, pria Surakarta yang lebih dahulu dekat dengan orang-orang Belanda telah mengenal cara bercukur. Maka pada blangkon gaya surakarta tidak terdapat mondolan di belakangnya trepes. Seiring berkembangnya waktu, blangkon menjadi representasi diri melalui tampilan depan yang rapi, sopan dan berseni. Blangkon juga dapat menjadi identitas dan status sosial di masyarakat. Walaupun perubahan zaman ikut mengubah kebiasaan dan pola pikir masyarakat hingga berdampak pada eksistensi blangkon yang semakin jarang ditemui. Blangkon iku sajinis panutup sirah kanggo wong priyo sing sejatiné wujud modhèrn lan praktis soko iket. Iket digawe soko kain batik sing rodho dowo banjur dililitake miturut cara-cara lilitan tinentu neng sirah. Lilitan kain iku kudhu isa nutup kabeh sirah ndhuwur kuping. Ya, blankon adalah salah satu bagian dari pakaian adat khas Jawa yang digunakan untuk penutup kepala bagi pria sebagai pelindung dari sengatan matahari atau udara dingin. Awalnya terbuat dari kain iket atau udeng berbentuk persegi empat bujur sangkar, berukuran kurang lebih 105 cm x 105 cm. Kain yang kemudian dilipat dua menjadi segitiga dan kemudian dililitkan di kepala dengan cara dan aturan tertentu. Mengenakan iket dengan segala aturannya ternyata tidak mudah dan memakan waktu, maka timbullah gagasan seiring dengan kemajuan pemikiran orang dan seni untuk membuat penutup kepala yang lebih praktis, yang kemudian kita kenal dengan nama blangkon. Tidak ada catatan sejarah yang pasti akan asal muasal orang Jawa memakai iket sebagai penutup kepala. Iket telah tersebut dalam legenda Aji Saka, pencipta tahun Saka atau tahun Jawa, sekitar 20 abad yang lalu dimana Aji Saka berhasil mengalahkan Dewata Cengkar hanya dengan menggelar kain penutup kepala yang kemudian dapat menutupi seluruh tanah Jawa. Selain itu, ada cerita-cerita bahwa iket adalah pengaruh budaya Hindu dan Islam. Para pedagang dari Gujarat yang keturunan Arab selalu mengenakan sorban, kain panjang yang dililitkan di kepala, yang kemudian menginspirasi orang Jawa memakai ikat kepala seperti mereka. Cerita lain mengatakan, di satu waktu akibat peperangan kain menjadi barang yang sulit didapat sehingga petinggi keraton meminta seniman untuk menciptakan ikat kepala yang lebih efisien yaitu blangkon. Seorang ahli kebudayaan bernama Becker yang meneliti tata cara pembuatan blangkon mengatakan, “That an object is useful, that it required virtuoso skill to make – neither of these precludes it from also thought beatiful. Some craft generate from within their own tradition a feeling for beauty and with it appropriete aesthetic standards and common of taste”. Pada jaman dahulu, blankon memang hanya dibuat oleh para seniman yang ahli dengan pakem aturan tentang iket. Semakin memenuhi pakem yang ditetapkan, maka blangkon tersebut akan semakin tinggi nilainya. Bagi orang Jawa, kepala, rambut dan wajah adalah mahkota, bagian yang terpenting dan terhormat dari tubuh manusia, yang harus selalu dilindungi dan diperhatikan. Kebanyakan orang Jawa dahulu memanjangkan rambutnya tapi tidak membiarkannya tergerai acak-acakan. Rambut biasanya digelung atau diikat dengan ikatan kain, yang saat ujung ikatan kain tersebut diikat dibelakang kepala bermakna filosofis berupa peringatan untuk mampu mengendalikan diri. Pria Jawa jaman dahulu hanya membiarkan rambutnya tergerai hanya saat berada di rumah atau dalam sebuah konflik, misal perang atau berkelahi. Membuka ujung ikatan kain di belakang kepala atau membuka tutup kepala yang berakibat tergerainya rambut adalah bentuk terakhir luapan emosi yang tak tertahan. Jadi iket atau blangkon adalah perwujudan pengendalian diri. Saat agama Islam masuk ke tanah Jawa, blankon dikaitkan dengan nilai transedental. Di bagian belakang blangkon pasti ada 2 ujung kain yang terikat, yang satu ujung kain merupakan simbol dari syahadat Tauhid dan satu ujung lain adalah syahadat Rasul dan terikat menjadi satu bermakna menjadi syahadatain. Setelah terikat, kemudian dipakai di kepala, di bagian yang bagi orang Jawa adalah bagian terhormat, artinya syahadat harus ditempatkan paling atas. Pemikiran apapun yang keluar dari kepala harus dilingkupi oleh sendi-sendi Islam. Pada perkembangannya kemudian, blangkon yang awalnya menjadi pelindung kepala yang mempunyai nilai filosofis tinggi kemudian menjadi sebuah simbol atau identitas kelompok serta status sosial dari masyarakat penggunanya. Hal ini ditandai dengan adanya wiron, jabehan, cepet, waton, kuncungan, corak dan ragam hiasnya. Tetapi apapun itu, sebagai orang Jawa tulen, bila anda tidak mampu mengendalikan emosi dan nafsu maka anda tidak berhak mengenakan iket blangkon di kepala !! Secara umum, ada dua jenis blangkon, yaitu yang mempunyai mondolan tonjolan dan yang trepes rata. Pada awal iket dipergunakan sebagai tutup kepala, banyak pria Jawa yang berambut panjang sehingga harus digelung terlebih dahulu sebelum ditutup dengan iket. Gelung rambut ini lah yang kemudian mondol, menonjol, dan disembunyikan dibawah iket. Rambut dalam nilai filosofi orang Jawa yang sudah disebutkan diatas adalah representasi perasaan. Rambut dibawah iket adalah perasaan yang disembunyikan, yang harus dijaga rapat-rapat, menjaga perasaan sendiri demi menjaga perasaan orang lain. Sebagai bagian dari taktik devide et impera, VOC menengahi dan memanfaatkan konflik internal kerajaan Mataram. Setelah ditandatanganinya perjanjian Gianti 1755 Kesultanan Mataram terbagi menjadi dua yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Masyarakat di kedua daerah ini kemudian tumbuh dengan caranya sendiri-sendiri. Salah satunya adalah pria Jogya masih berambut panjang dan menggelung rambutnya, sementara pria Surakarta karena lebih dekat dengan orang-orang Belanda terlebih dahulu mengenal cara bercukur. Walaupun kemudian orang mulai banyak berambut pendek dan menggunakan blangkon tidak lagi iket, untuk sebuah pembedaan maka dibuatlah mondholan yang dijahit langsung pada blangkon dari Jogya. Itu mengapa blankon dengan mondolan dapat ditemukan di Jogya, sementara yang trepes ditemukan di Solo. Sebenarnya ada banyak varian dari blangkon, yaitu 1. Kejawen meliputi daerah Banyumas, Bagelen, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Kediri, Malang, dapat dibedakan lagi sekurang-kurangnya dua gaya, yakni Solo dan Yogyakarta. a. Gaya Solo, dapat dibedakan lagi dengan gaya utama dan selatan. b. Gaya Yogya, dapat dibedakan jenis lagi menurut wironnya, yakni mataraman dan iket krepyak. 2. Pasundan. Tidak selalu diartikan secara geografis, misalnya Banten dan Cirebon masuk kelompok pesisiran. Blangkon atau bendo Pasundan banyak persamaannya dengan gaya Solo, namun dapat dibedakan melalui beberapa bentuk seperti barangbangsemplak, Sumedangan, Wirahnasari dan lain-lain. 3. Pesisiran. Adalah daerah-daerah yang berlokasi di pantai utara Pulau Jawa dimana corak budayanya berbeda penerapan motif batik dengan daerah pedalaman. 4. Lain-lain. Di samping yang tidak disebutkan diatas masih terdapat corak atau gaya lain di Pulau Jawa seperti layaran Jawa Timur, dari Bangkalan, tengkulak Banten, Cirebon, Demak dipakai oleh santri dan lain-lain. Jadi blangkon adalah sebuah representasi diri melalui tampilan depan yang rapi, sopan dan berseni ditandai dengan wiru halus dari sebuah pengendalian diri yang kuat ikatan dua ujung kain di bagian belakang, pengendalian diri yang juga berbasis atas hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Dening Agung Susilo smk sanjaya gunungkidul 3ak2 artikel jawa tentang kebudayaan - Blangkon iku sajinis panutup sirah kanggo wong priya sing kagawé saka bahan kain bathik utawa lurik. Blangkon sejatiné wujud modhèrn lan praktis saka iket. Ing busana tradhisional adat Jawa lan adat Sundha blangkon dianggo minangka pasangan karo busana beskap. miturut Wikipedia Ing jaman modern iki blangkon ono ing masyarakat Yogyakarta khususe gunungkidul uwes mulai ilang seka pikiran masyarakat. Blangkon seng uwes suwe dadi budaya warga jawa iki, mulai kegiles karo topi-topi seng dadi trend ing kalangan muda-mudi. Nek arep weroh jinis-jinis blangkon iso mbok woco ing ngisor iki Ana sawetara jinis blangkon miturut adat ing papan panggonan tinamtu. Jinis blangkon antara liya 1. Blangkon Sala, saka bahan bathik ora nganggo mondholan trèpès. 2. Blangkon Yogya, nganggo mondholan. 3. Blangkon Kedhu. 4. Blangkon Banyumas. 5. Blangkon Sundha, saka bahan bathik, ora nganggo mondholan. Mondholan, iku wangun sing njendhol ing samburiné blangkon, makili modhèl rambut priya sing kerep dibundhel ing mburi. Blangkon modhèl trèpès, iku wujud sing umum blangkon gagrag Surakarta. Gaya iki minangka modhifikasi saka gaya Yogyakarta, amarga akèh-akèhé priya saiki arambut cendhak. Modhèl trèpès iki digawé kanthi njait langsung mondholan ing bagéan mburi blangkon. Saliyané saka suku Jawa , ana uga sawetara suku sing migunakaké panutup sirah sajinis blangkon nanging béda wujudé, yaiku suku Sundha, suku Madura, suku Bali, lan sapanunggalané. Wikipedia Ing pikiranne para mudha jaman saiki, nganggo blangkon iku koyo ndadeke deweke tambah katrok, cupu, ketinggalan jaman lan sak liyan-liyane. Ningo nek awake dewe nganggo. Podo wae wes melu nglestarekake budaya jawa. Dadi ora eneng seng jenenge wong jowo ilang jawane. Kenapa ora? Neng Daerah Istimewa Yogyakarta netapke dino blangkon saben minggune. Umpamane dino setu dadi dino blangkon, dadi saben dina setu bocah-bocah seklah do nganggo blangkon seko SD, SMP, SMK, lan SMA. Dadine para pelajar ing kutho Yogyakarta duwe kekhasan karo kutho-kutho liyane. Aku nduwe pepinginan supoyo sesok blangkon iso dadi benda sing ora mung diweruhi wong Yogyakarta tok. Ningo bisa diweruhi ing mata internasional. Dadine ora mung dingo warga Indonesia ningo warga mancanegara Title artikel bahasa jawa tentang kebudayaan BLANGKON Description Mesake Blangkon Dening Agung Susilo smk sanjaya gunungkidul 3ak2 artikel jawa tentang kebudayaan - Blangkon iku sajinis panutup...

deskripsi blangkon dalam bahasa jawa